Jakarta — Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, memunculkan pro dan kontra di masyarakat. Keputusan yang diumumkan bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan itu langsung menjadi topik hangat, baik di media sosial maupun ruang publik.
Sebagian masyarakat menilai Soeharto layak mendapatkan gelar tersebut karena jasa-jasanya dalam pembangunan ekonomi dan stabilitas negara selama 32 tahun kepemimpinannya. Namun di sisi lain, kritik tajam muncul dari sejumlah kalangan yang menilai keputusan itu mengabaikan catatan kelam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa Orde Baru.
Di tengah silang pendapat itu, pihak keluarga Soeharto akhirnya buka suara. Mereka menanggapi dinamika publik dengan sikap tenang dan menyerahkan sepenuhnya penilaian kepada masyarakat.
Pemerintah Tegaskan Keputusan Berdasarkan Kajian Resmi
Pemerintah menegaskan bahwa penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional tidak dilakukan secara tiba-tiba. Proses pengusulan telah melalui mekanisme resmi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, dengan menilai kontribusi, dedikasi, dan rekam jejak perjuangan tokoh bersangkutan bagi bangsa Indonesia.
Soeharto disebut memiliki peran besar dalam operasi militer masa revolusi dan sejumlah misi strategis, termasuk operasi pembebasan Irian Barat. Selain itu, masa kepemimpinannya dianggap membawa kemajuan besar dalam bidang ekonomi, pertanian, dan pembangunan infrastruktur nasional.
Melalui program Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA), Soeharto dinilai berhasil menata arah pembangunan ekonomi dan menciptakan stabilitas politik yang membawa Indonesia keluar dari masa-masa sulit pasca kemerdekaan.
Meski demikian, pemerintah mengakui bahwa pro dan kontra merupakan hal yang wajar, sebab setiap tokoh besar pasti meninggalkan jejak sejarah yang memiliki sisi terang dan gelap.
Suara Pro dan Kontra di Masyarakat
Pemberian gelar ini menimbulkan perdebatan tajam di kalangan masyarakat. Sebagian pihak mendukung dengan alasan bahwa jasa Soeharto terhadap pembangunan bangsa tidak bisa dihapuskan begitu saja dari catatan sejarah.
Bagi mereka yang pro, Soeharto dikenang sebagai sosok yang berhasil mewujudkan swasembada pangan, membangun jaringan jalan dan irigasi, serta mengantarkan Indonesia pada masa kejayaan ekonomi di era 1980-an hingga awal 1990-an. Banyak pula yang menilai Soeharto berhasil menjaga stabilitas politik dan keamanan dalam negeri di tengah gejolak global pada masa itu.
Namun di sisi lain, kelompok penentang menilai bahwa pemberian gelar tersebut belum sepenuhnya mencerminkan keadilan sejarah. Mereka mengingatkan adanya pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa pemerintahannya, seperti kasus 1965-1966, penembakan misterius, dan pembatasan kebebasan pers.
Perdebatan ini semakin ramai di media sosial. Sebagian masyarakat menilai langkah pemerintah sebagai bentuk penghargaan terhadap sejarah pembangunan, sementara lainnya melihatnya sebagai bentuk pelupaan terhadap luka masa lalu.
Keluarga Soeharto Buka Suara
Menanggapi kontroversi tersebut, keluarga almarhum Soeharto akhirnya memberikan pernyataan resmi. Putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut Soeharto, menyebut bahwa pro dan kontra merupakan hal yang lumrah dalam masyarakat demokratis.
“Masyarakat Indonesia itu beragam, jadi wajar kalau ada yang mendukung dan ada yang menolak. Semua punya pandangan masing-masing,” ujarnya dalam keterangan pers.
Sementara itu, putri Soeharto lainnya, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto, menegaskan bahwa bagi keluarga, penghargaan tersebut hanyalah simbol. “Bagi kami, bapak tetap pahlawan, diberi gelar atau tidak. Beliau sudah berjuang untuk bangsa ini,” ucapnya.
Keluarga juga menyampaikan terima kasih kepada pemerintah dan masyarakat yang mendukung penetapan gelar tersebut. Mereka berharap keputusan ini tidak memecah belah bangsa, melainkan menjadi momentum untuk merefleksikan perjalanan sejarah Indonesia.
Dampak Sosial dan Refleksi Sejarah
Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional menimbulkan dampak sosial yang luas. Di satu sisi, banyak pihak menganggap keputusan ini dapat menghidupkan kembali semangat nasionalisme dan penghargaan terhadap jasa para pemimpin bangsa. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa langkah tersebut justru dapat memicu polarisasi di masyarakat.
Sejarawan menilai, kontroversi ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi bangsa Indonesia dalam memahami sejarah secara utuh — bukan sekadar dari satu sisi. Penghargaan terhadap jasa seseorang tidak berarti menghapus kesalahan masa lalu, melainkan mengajak publik untuk belajar dari perjalanan sejarah itu sendiri.
Penutup
Polemik tentang gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih bergulat dengan cara terbaik dalam menilai masa lalunya. Di tengah perbedaan pandangan, keluarga Soeharto memilih bersikap damai dan menyerukan persatuan.
Sebagai negara demokratis, perbedaan pendapat merupakan hal wajar selama disampaikan dengan cara yang beradab. Kini, publik tinggal menunggu bagaimana pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengelola perdebatan ini menjadi refleksi berharga demi kemajuan bangsa di masa depan.






