REDAKSIPOST.COM – Di tengah derasnya perkembangan teknologi, dinamika hubungan antara orang tua dan anak soal penggunaan gadget kian menjadi tantangan tersendiri. Drama larangan, sitaan ponsel, hingga konflik kecil di balik pintu kamar bukan lagi hal baru. Banyak orang tua merasa terjebak dalam peran sebagai “polisi gadget”, sementara anak semakin mahir menyembunyikan aktivitas digital mereka.
Melihat fenomena tersebut, Bambang Kelana Simpony, dosen Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) sekaligus pemerhati literasi digital, menawarkan pendekatan yang lebih humanis: berhenti menjadi polisi gadget dan mulai berperan sebagai navigator digital bagi anak-anak.
Peran Polisi Gadget Dinilai Tidak Lagi Efektif
Bambang menilai pola pelarangan justru memperbesar jarak emosional antara orang tua dan anak. Larangan demi larangan membuat gadget tampak seperti benda terlarang yang semakin menarik untuk disembunyikan.
Saat orang tua sibuk mengawasi, anak justru belajar memanipulasi situasi. “Setiap kali kita melarang, secara tidak sadar kita menciptakan aura misteri pada gadget itu sendiri,” jelasnya. Pola ini tidak hanya mengikis komunikasi, tetapi juga memunculkan rasa tidak saling percaya.
Menurut Bambang, pendekatan itu sudah waktunya ditinggalkan. “Bukankah lebih bijak jika kita merangkul dunia digital anak, alih-alih menghakiminya?” ujarnya.
Membangun Komunikasi Melalui Pendampingan
Pendekatan baru ini menekankan pentingnya komunikasi. Alih-alih merampas ponsel dari tangan anak, orang tua dapat memulai dialog sederhana seperti, “Lagi main apa? Boleh ajari Ayah/Ibu?”.
Pertanyaan kecil dengan nada tulus dapat membangun jembatan komunikasi yang lebih hangat. Dari sana, orang tua dapat memahami minat anak, mengarahkan preferensi digitalnya, hingga mengarahkan pada konten edukatif yang lebih bermanfaat.
UBSI sendiri menjadi salah satu institusi yang menaruh perhatian besar terhadap literasi digital. Kampus ini rutin mendorong mahasiswa dan masyarakat untuk memahami teknologi secara bijak dan bertanggung jawab.
Tips Menjadi Mentor Digital bagi Anak
Untuk membantu orang tua menjalankan peran sebagai mentor digital, Bambang memberikan beberapa langkah praktis:
-
Eksplorasi bersama. Luangkan waktu untuk mencoba aplikasi edukasi atau permainan bersama. Diskusikan apa yang menarik dan bagaimana manfaatnya.
-
Berkreasi, bukan sekadar konsumsi. Dorong anak membuat karya digital, seperti video pendek, ilustrasi, atau cerita.
-
Ajarkan etika digital. Gunakan momen berselancar di internet sebagai kesempatan menjelaskan privasi, keamanan digital, dan sopan santun di dunia maya.
-
Buat aturan bersama. Libatkan anak dalam menyusun aturan penggunaan gadget agar mereka merasa dihargai dan memiliki tanggung jawab.
Pendekatan ini dinilai lebih efektif membangun hubungan yang sehat dan mengajarkan anak bersikap dewasa dalam menggunakan teknologi.
Pentingnya Literasi Digital untuk Masa Depan
Bambang menegaskan, filosofi ini sejalan dengan komitmen UBSI sebagai Kampus Digital Kreatif yang menekankan literasi digital sejak dini.
“Kami tidak hanya mengajarkan cara menggunakan teknologi, tetapi juga cara memahami dampaknya. Kepemimpinan di era digital dimulai dari kemampuan membimbing dan memberdayakan orang lain, termasuk anak-anak mereka sendiri,” katanya.
Gadget Bukan Musuh, tetapi Alat
Pada akhirnya, gadget tidak dapat dipisahkan dari kehidupan modern. Seperti pisau, teknologi bisa membawa manfaat besar atau risiko, tergantung bagaimana alat itu digunakan. Karena itu, orang tua memiliki peran penting dalam mengarahkan penggunaan gadget secara tepat.
Dengan beralih dari peran sebagai polisi gadget menjadi mentor digital, orang tua bukan hanya melindungi anak dari bahaya dunia maya, tetapi juga membekali mereka dengan keterampilan digital yang relevan untuk masa depan.
Pendekatan yang lebih hangat dan penuh empati menjadi kunci. “Mari kita sentuh hati mereka, bukan hanya layarnya,” ujar Bambang, menutup penjelasannya





