(Redaksipost.com) – Aksi seorang camat di Kecamatan Sukabumi, Bandar Lampung yang diduga melarang seorang selebgram mendokumentasikan kondisi jalan rusak di wilayahnya memantik perdebatan luas di ruang publik. Peristiwa tersebut menjadi sorotan karena dianggap menyentuh isu krusial: kebebasan berekspresi dan keterbukaan informasi di era demokrasi digital.
Kejadian bermula ketika Susanti (24), seorang selebgram lokal dengan jumlah pengikut media sosial mencapai ratusan ribu, mengunggah video pendek yang merekam kerusakan parah di Jalan Pangeran Tirtayasa. Dalam video tersebut, ia menyampaikan keluhan terkait infrastruktur jalan yang tak kunjung diperbaiki meski telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
Namun, belum lama proses dokumentasi berlangsung, seorang pria berkemeja dinas yang belakangan diketahui sebagai Camat Sukabumi, Sahrial, menghampiri dan meminta Susanti menghentikan perekaman. “Tolong jangan buat konten seperti ini. Ini bisa mencemarkan nama wilayah,” ujarnya sebagaimana terekam dalam video yang kemudian viral di media sosial.
Antikritik dan Ruang Publik Digital
Langkah camat tersebut memicu gelombang kritik dari netizen. Banyak pihak mempertanyakan sikap pejabat publik yang terkesan alergi terhadap kritik, terlebih dalam konteks pelaporan kondisi infrastruktur yang secara langsung berdampak pada keselamatan warga.
Dalam sistem demokrasi, kritik merupakan hak yang dilindungi konstitusi. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin kebebasan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat. Selain itu, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mewajibkan pemerintah membuka akses informasi terkait pelayanan publik, termasuk kondisi jalan.
Dalam kasus ini, isi konten yang dibuat selebgram tidak menyerang pribadi atau menyebar hoaks, melainkan memotret kondisi faktual. Maka, tindakan pelarangan tersebut dinilai tidak selaras dengan semangat keterbukaan informasi dan justru menimbulkan pertanyaan besar terkait komitmen pejabat terhadap transparansi.
Pejabat Publik dan Tanggung Jawab Moral
Seorang pejabat pemerintah, apalagi di tingkat kecamatan, seharusnya memahami bahwa jabatan publik melekat dengan tanggung jawab moral untuk melayani, bukan membungkam suara masyarakat. Dalam konteks digital, media sosial telah menjadi bagian dari “ruang publik baru”, tempat warga berdiskusi, menyampaikan aspirasi, hingga melakukan pengawasan terhadap kebijakan.
Alih-alih melarang, respons yang lebih bijak dari camat seharusnya adalah berdialog dengan pembuat konten, memberikan penjelasan terkait kendala teknis perbaikan jalan, dan bahkan membuka ruang kolaborasi dengan masyarakat untuk menyuarakan perbaikan ke jenjang pemerintahan yang lebih tinggi.
Tanggung Jawab Bersama dalam Demokrasi Digital
Namun demikian, kebebasan berekspresi juga mengandung tanggung jawab. Kritik publik yang disampaikan melalui media sosial harus mengedepankan etika. Informasi yang disebarluaskan hendaknya sudah diverifikasi, disampaikan dengan bahasa yang santun, fokus pada isu, dan tidak bernada menyerang secara pribadi. Kritik yang konstruktif—disertai dengan usulan solusi—akan jauh lebih berdampak dan membangun ruang dialog yang sehat.
Menurut para ahli komunikasi digital seperti Manuel Castells, kekuatan di era informasi tidak lagi berada di tangan mereka yang memiliki jabatan, melainkan pada siapa yang mampu mengelola dan menyampaikan informasi secara efektif. Maka, pejabat publik harus bertransformasi: dari pengontrol informasi menjadi fasilitator dialog.
Pelajaran dari Sukabumi, Lampung
Kasus di Sukabumi, Bandar Lampung ini menjadi gambaran nyata benturan antara gaya kepemimpinan konvensional dengan dinamika masyarakat digital yang lebih kritis dan partisipatif. Di satu sisi, pemerintah dituntut untuk lebih adaptif dan terbuka. Di sisi lain, warga pun perlu terus mengembangkan budaya kritik yang cerdas dan bertanggung jawab.
Demokrasi yang sehat tidak akan lahir tanpa kritik. Justru dari kritik itulah, kebijakan dapat dievaluasi dan pemerintah bisa terus memperbaiki diri. Menutup ruang kritik hanya akan menjauhkan pejabat dari rakyatnya dan memicu krisis kepercayaan.
Di zaman ketika ponsel dapat menjadi alat jurnalisme warga, maka yang menolak transparansi akan ketinggalan, dan yang takut pada kritik akan kehilangan relevansi.