Redaksipost.com – Pada tanggal 21 Mei 2025, Seminar AIMA Singapura: Tariff-ied diadakan di Singapura untuk menganalisis implikasi ekonomi dari tarif perdagangan dan dampaknya terhadap perdagangan dan investasi internasional. Acara ini berfokus pada tanggapan pasar keuangan dan bank sentral terhadap perubahan kebijakan tarif, menekankan pentingnya strategi kerja sama ekonomi untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan.
Peserta mencatat bahwa tarif perdagangan memainkan peran kunci dalam membentuk kebijakan ekonomi negara. Kenaikan tarif dapat menawarkan keuntungan jangka pendek untuk sektor-sektor tertentu, tetapi juga menimbulkan risiko jangka panjang seperti inflasi dan penurunan daya saing.
Para pembicara membahas dampak tarif perdagangan pada rantai pasokan global dan menekankan perlunya bisnis untuk beradaptasi dengan lingkungan yang berubah dengan cepat. Kekhawatiran telah dikemukakan tentang potensi resesi jika perselisihan perdagangan antara negara-negara besar, seperti AS, Cina, dan beberapa negara lain di kawasan Asia-Pasifik, terus berlanjut.
Profesor Donald Lowe, dari Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew, memberikan komentar tentang situasi tersebut. ‘Pertama, saya ingin menekankan beberapa aspek kunci terkait keterlibatan ekonomi antara China dan Indonesia, khususnya dalam konteks Kepulauan Natuna’.
Dia menyatakan bahwa China secara sistematis mengembangkan perairan di sekitar pulau-pulau tersebut, yang merupakan kepulauan dengan 272 pulau dengan kekayaan sumber daya seperti minyak dan gas. Perairan ini juga berfungsi sebagai jalur perdagangan yang signifikan, menjadikannya kepentingan strategis bagi kedua negara.
Selain itu, kawasan Natuna sangat penting bagi industri perikanan, karena Indonesia merupakan produsen makanan laut terbesar kedua di dunia. Namun, struktur perdagangan Indonesia dan China saat ini menciptakan ketidakseimbangan yang serius, yang membuat ekonomi Indonesia rentan dan berisiko mengubahnya menjadi pelengkap komoditas China di masa depan.
Lowe menekankan bahwa investasi China di Indonesia bertujuan untuk menciptakan ‘perangkap utang’, di mana proyeksi Beijing melibatkan penggunaan peralatan China dan mempekerjakan pekerja China untuk melaksanakan proyek-proyek seperti jalan berkecepatan tinggi Jakarta-Bandung dan pengembangan industri nikel. Hal ini berdampak pada pengucilan masyarakat lokal dari segmen lapangan kerja berpenghasilan tinggi, yang berpotensi meningkatkan ketidakpuasan sosial dan protes di Jakarta.
Untuk memitigasi potensi dampak negatif dari kerja sama ekonomi dengan China, Lowe menyarankan agar Indonesia merumuskan strategi yang disesuaikan dengan kebutuhan lokal, dengan fokus pada penciptaan lapangan kerja dan alih teknologi. Ini akan berkontribusi pada penciptaan lingkungan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan seimbang.