(Redaksipost.com) – Terdakwa kasus suap dan gratifikasi di lingkungan Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, mengungkapkan penyesalan mendalam karena harus menghadapi proses hukum di usia pensiunnya. Dalam sidang pembacaan pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (10/6/2025), mantan pejabat tinggi MA itu mengaku sedih karena kehilangan kesempatan menghabiskan masa tua bersama keluarga.
“Di usia saya yang sudah 63 tahun, seharusnya saya menikmati masa pensiun dengan orang-orang terdekat. Namun karena kelalaian saya, saya justru harus duduk di kursi pesakitan ini,” kata Zarof dengan suara bergetar.
Ia berharap kasus yang menjeratnya dapat menjadi titik balik dalam kehidupannya. “Semoga kejadian ini bisa menjadi pelajaran yang berarti dan menjadikan saya pribadi yang lebih baik di masa depan,” ujarnya.
Tuntutan Berat Jaksa: 20 Tahun Penjara dan Denda Rp1 Miliar
Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Agung sebelumnya menuntut Zarof dengan hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Jika denda tersebut tidak dibayar, maka akan diganti dengan hukuman kurungan selama enam bulan.
Jaksa menilai Zarof terbukti terlibat dalam tindak pidana korupsi berupa suap dan gratifikasi, khususnya dalam pengurusan perkara pembunuhan yang menjerat Gregorius Ronald Tannur, terdakwa dalam kasus kematian Dini Sera Afrianti. Zarof disebut sebagai perantara yang membantu pengacara Ronald mengatur putusan bebas melalui jaringan dalam lembaga peradilan.
Pengakuan Mencengangkan: Rp200 Miliar Uang Tunai dan Uang Asing
Dalam kesaksiannya di persidangan sebelumnya, Zarof mengakui pernah menerima uang dalam jumlah fantastis dari aktivitas pengurusan perkara. Ia menyebut nominal yang diterimanya mencapai Rp200 miliar, termasuk dalam bentuk mata uang asing.
Ketika ditanya oleh jaksa soal uang Rp920 miliar yang ditemukan di brankas rumahnya, Zarof mengaku tidak tahu pasti jumlah uang tersebut. “Saya tidak hafal, bahkan saya sendiri tidak menyangka jumlahnya sebanyak itu,” jawabnya.
“Uangnya saking banyaknya?” tanya jaksa.
“Bukan begitu, saya hanya simpan-simpan saja,” timpal Zarof.
Posisi Strategis: Kunci Akses Perkara di MA
Zarof mengakui bahwa sebagian besar dana yang ia terima berasal dari masa jabatannya sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Ses Badilum) MA. Dalam posisi itu, ia memiliki akses terhadap administrasi perkara dan bisa mengetahui tahapan-tahapan penanganan perkara yang tengah diproses.
Jaksa menyebut posisi Zarof strategis dalam lalu lintas perkara, apalagi ketika sistem masih berjalan secara manual. Zarof pun tak menampik bahwa pada masa itu, masih ada peluang “memperlambat” atau “mempercepat” berkas sesuai permintaan.
“Ya, memang ada yang datang minta agar putusan segera dikirim, kalau berkasnya belum kembali ya saya cek dulu. Tapi sekarang sistem sudah berubah, semuanya sudah online,” ujarnya menjelaskan.
Gratifikasi Mencapai Rp915 Miliar dan 51 Kg Emas
Jaksa menuding Zarof menerima gratifikasi selama 10 tahun terakhir dengan total nilai mencapai Rp915 miliar dan 51 kilogram emas. Ia diduga menjadikan jabatannya sebagai pintu masuk untuk mengatur arah perkara di lingkungan MA.
Dalam kasus Ronald Tannur, Zarof juga dituduh menerima suap melalui pengacara Lisa Rachmat untuk mengupayakan vonis bebas. Namun, dalam pembelaannya, Zarof menolak disebut ikut campur dalam putusan. Ia mengklaim hanya menjadi penghubung antara kuasa hukum dengan pejabat pengadilan.
Refleksi di Masa Tua
Mengakhiri pledoinya, Zarof menyesalkan bahwa perjalanan karier panjangnya di lembaga peradilan harus berakhir dengan citra buruk dan proses hukum. Ia mengaku ikhlas menghadapi konsekuensi dari perbuatannya dan berharap proses ini menjadi pembelajaran, tak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi semua aparatur penegak hukum.