Jakarta, Redaksipost.com – Tensi internasional semakin meningkat setelah China diumumkan berhasil memediasi perjanjian “rekonsiliasi nasional” antara Hamas dan Fatah pada Selasa, 23 Juli 2024. Perjanjian ini bertujuan untuk memulihkan stabilitas di Gaza pascaperang, namun justru memicu kemarahan Israel.
Dalam perkembangan terbaru pada Rabu, 24 Juli 2024, Tel Aviv dengan tegas mengecam kesepakatan yang dimediasi Beijing tersebut. Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, mengeluarkan pernyataan keras, menegaskan bahwa pemerintahannya tidak akan mengakui perjanjian tersebut dan berjanji untuk “menghancurkan pemerintahan Hamas”. Katz juga menuduh Presiden Otoritas Palestina, Mahmud Abbas, yang berasal dari faksi Fatah, mendukung serangan Hamas pada 7 Oktober yang memicu konflik berdarah yang telah berlangsung sejak Oktober 2023.
“Abbas tidak lebih dari sekadar pengawas jarak jauh terhadap Gaza,” kata Katz, sambil menyebut Abbas sebagai “pendukung para pembunuh dan pemerkosa Hamas”, menurut laporan AFP.
Keterlibatan China dalam Proses Perdamaian
China memfasilitasi pertemuan antara pejabat senior Hamas, Musa Abu Marzuk, dan utusan Fatah, Mahmud al-Aloul, serta 12 faksi Palestina lainnya. Anggota politbiro Hamas, Hossam Badran, mengungkapkan bahwa keterlibatan China merupakan langkah untuk menantang pengaruh Amerika Serikat (AS).
“Amerika Serikat tidak objektif,” klaim Badran. “AS menolak konsensus nasional Palestina dan berkolaborasi dengan pendudukan Israel dalam kejahatannya terhadap rakyat kami.”
Perjanjian yang dimediasi China mencakup rencana pembentukan pemerintahan persatuan nasional yang mencakup seluruh wilayah Palestina, termasuk Jalur Gaza dan Tepi Barat, serta wilayah yang dianeksasi oleh Israel, seperti Jerusalem Timur. Ini merupakan langkah signifikan setelah kedua kelompok, Hamas dan Fatah, terlibat dalam konflik berdarah pada 2007, dengan Hamas akhirnya menguasai Gaza.
Respon Israel dan Situasi di Gaza
Sementara itu, Israel tetap melanjutkan serangannya. Israel telah mengeluarkan perintah evakuasi untuk warga sipil di beberapa wilayah Khan Yunis, yang dinyatakan sebagai zona aman kemanusiaan. Namun, jet-jet tempur Israel terus menggempur daerah tersebut, menyebabkan kematian 73 orang dan melukai lebih dari 200 lainnya, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.
Militer Israel menyatakan bahwa serangan tersebut bertujuan untuk menargetkan dan melenyapkan “teroris” di daerah tersebut. Sementara itu, seorang pengungsi dari Gaza, Hassan Qudayh, menggambarkan situasi sebagai “Gaza sudah tamat, Gaza sudah mati, Gaza telah hilang. Tidak ada yang tersisa.”
Krisis kemanusiaan di Gaza semakin memburuk dengan runtuhnya sistem layanan kesehatan. Rumah sakit, termasuk Rumah Sakit Nasser di Khan Yunis, mengalami tekanan berat. “Kami tidak dapat menampung lebih banyak pasien, dan kekurangan pasokan medis berarti kami tidak dapat menyelamatkan mereka,” ujar Mohammed Zaqout, direktur Rumah Sakit Nasser.
Dengan perkembangan terbaru ini, ketegangan antara Israel dan Palestina semakin meningkat, sementara upaya diplomatik internasional berusaha mencari jalan keluar dari krisis yang berkepanjangan. Dunia internasional kini memantau dengan cermat bagaimana situasi ini akan berkembang dan dampaknya terhadap stabilitas kawasan serta kehidupan rakyat Palestina dan Israel