Redaksipost.com– Di tengah malam yang hening di sebuah pos keamanan lingkungan di desa kecil, sekelompok warga berkumpul dengan perbincangan hangat yang sesekali diwarnai perdebatan. Topik yang dibicarakan adalah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan datang. Seorang lelaki paruh baya mencoba menyampaikan esensi dari pemilihan demokratis tersebut kepada warga yang hadir.
Lelaki itu, dengan sikap tenang dan sabar, menjelaskan bahwa Pilkada bukan hanya sekadar ajang memilih pemimpin, melainkan juga momen untuk mempererat persaudaraan dan menjaga ketertiban. Namun, di tengah penjelasannya, beberapa pendukung calon tertentu bersikeras bahwa pasangan mereka adalah yang terbaik, bahkan tak ragu merendahkan lawan politiknya. Tak jarang, perdebatan memanas, nyaris memicu konflik fisik.
Dengan sikap bijaksana, lelaki tersebut menengahi suasana. Meski memiliki kecenderungan dukungan sendiri, ia tak membiarkan pilihan politiknya menjadi sumber perselisihan. Baginya, Pilkada adalah “pesta demokrasi” yang berlangsung hanya lima tahun sekali, sementara kerukunan dan persaudaraan di antara warga adalah hal yang jauh lebih berharga dan harus dijaga. “Tak perlu bermusuhan hanya karena berbeda pilihan,” ujarnya, sambil mengingatkan bahwa menjaga kedamaian lingkungan adalah tanggung jawab bersama.
Sikap yang ditunjukkan oleh lelaki itu menggambarkan kepahlawanan dalam konteks masa kini. Meski tidak berperang melawan penjajah seperti para pahlawan nasional, upayanya untuk menjaga persatuan di tengah perbedaan adalah wujud nyata dari sikap kepahlawanan. Menurut UU No. 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, pahlawan nasional didefinisikan sebagai mereka yang berjuang mempertahankan negara atau berkontribusi besar bagi bangsa dan negara. Namun, esensi kepahlawanan sejati tidak selalu harus dibuktikan dengan pengorbanan yang besar atau gelar kehormatan formal.
Pada masa sekarang, kepahlawanan dapat diwujudkan dengan tindakan sederhana yang memperkuat harmoni di tengah masyarakat. Memastikan lingkungan tetap aman, menghindari konflik, atau menjaga ketentraman adalah tindakan-tindakan kecil yang berkontribusi pada kedamaian bangsa. Lelaki yang menjaga lingkungan dari pencurian tanpa diketahui orang lain, atau seseorang yang membersihkan duri dari jalan untuk keselamatan bersama adalah contoh kecil kepahlawanan yang tak memerlukan penghargaan resmi.
Saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 akan digelar pada 27 November mendatang, nilai-nilai kepahlawanan ini kembali diuji. Pilkada adalah momentum penting dalam demokrasi Indonesia, namun tantangannya adalah menjaga agar momen ini tidak berujung pada konflik antarpendukung. Tak jarang, baik calon kepala daerah, partai politik, maupun simpatisan terjebak dalam semangat “siap menang, tak siap kalah.” Sikap ini bertentangan dengan upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sejak awal berupaya agar setiap pasangan calon dan pendukungnya berkomitmen untuk menerima hasil pemilu dengan lapang dada, baik kemenangan maupun kekalahan.
Penandatanganan komitmen oleh para pasangan calon dan partai pendukung untuk “siap menang dan siap kalah” adalah langkah awal yang bertujuan mencegah terjadinya konflik di akar rumput. Namun, implementasi sikap tersebut di masyarakat luas masih membutuhkan upaya bersama.
Dalam kehidupan sehari-hari, sikap kepahlawanan sederhana yang didasari keinginan untuk menjaga kedamaian dan kebersamaan sangatlah bernilai. Semakin banyak warga yang tergerak menjaga kedamaian di lingkungannya, semakin kuat pula ketahanan sosial di masyarakat kita. Kepahlawanan bukan hanya soal pengakuan, tetapi soal tanggung jawab dan kepedulian terhadap sesama yang melampaui perbedaan pilihan politik.
Maka, mari menjadi “pahlawan” dalam arti sesungguhnya dengan menjaga persatuan, menghormati perbedaan, dan memprioritaskan kedamaian di atas segala-galanya. Pilkada adalah momentum pesta demokrasi, namun persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia adalah kemenangan yang jauh lebih abadi.